Senin, 24 Oktober 2011

Sang Bidadari #3


Tiba-tiba tergambar dalam benakku, ketika dulu ummi yang selalu mengingatkanku pergi mengaji ke madrasah. Mengingat sosok ummi yang begitu religius, menjadi pemandangan yang sangat indah dan menjadi contoh bagi kami anak-anaknya. Ya Allah... Teringat sosok ummi semakin membuatku tak dapat menahan rindu.

***

Akhirnya setelah menyelesaikan boarding-pass di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Lima jam di perjalanan bukanlah waktu yang singkat bagi yang sedang diburu waktu sepertiku. Senyum ummi terus mengikutiku. Membuat hatiku semakin tidak sabar ingin bertemu dengannya. Paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain, aku berdzikir menghapus sesak di dada ini. Melayani di atas samudera pasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuatku sedikit tenang. Kumpulan gumpalan awan putih diluar seperti gumpalan rinduku pada ummi. Detik, menit, hingga waktu 5 jam telah berlalu. Mengharuskan pesawat yang kunaiki untuk landing di bandara Polonia.

Medan belum banyak berubah. Semuanya masih sama seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya. Aku serasa kembali ke masa lalu. Dimana semua kenanganku dulu pernah terukir. Melewati jalan yang dulu pernah kulalui, seperti menarikku ke masa-masa silam. Kota yang menjadi tempatku di besarkan. Tak terhitung berapa banyak kenangan di dalamnya. Terutama kenangan antara ummi dan keluarga yang selalu mendampingiku. Teringat akan semua itu, aku ingin sekali cepat bertemu dengan ummi.

Rumah bertingkat yang pernah di lahap api sewaktu aku di MTs dulu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih sama seperti ketika aku masih berada di dalamnya. Bermain, berlari-lari di halaman bersama ummi. Tapi hanya satu yang kulihat berubah, yaitu ummi.

Wajah ummi masih terlihat teduh dan bijak dimataku. Meski usia telah senja, tapi ummi tidak terlihat tua. Hanya saja kini ummi terbaring tidak berdaya diatas tempat tidur, tidak seperti biasanya. Aku berlutut disampingnya, "Ummi... Rafiq pulang mi..." gemetar bibirku memanggilnya.

Kuraih perlahan tangan ummi sambil mendekapnya di dadaku. Ketika mencium tangannya, butiran air mataku mengalir tak terbendung membasahinya, ummi yang tertidur perlahan membuka matanya dan menyadari akan kedatanganku. Sosok yang bagaikan bidadari itu tersenyum ke arahku, senyum yang sangat aku rindukan itu terukir diwajahnya. Aku langsung memeluk ummi. Entah berapa lama aku mendekap ummi melepas rindu. Ummi mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya kutahu bahwa ummi menyimpan derita yang sama. Rindu terhadapku, anaknya yang sekian lama tak berjumpa.(ARC)

0 komentar:

Posting Komentar